Selasa, 16 Maret 2010

Sindrom Ovarium Poliklostik Ditandai Haid Tidak Teratur

admts  |  at  21.46  | No comments


Masih banyak perempuan yang tidak mengetahui persis seberapa teratur siklus menstruasinya. Padahal, mengetahui kapan awal dan akhir haid, sama halnya dengan memantau kondisi kesehatan organ penting di tubuh perempuan.

Menurut dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr Budi Wiweko SpOG, seharusnya tiap perempuan usia reproduktif selalu mencatat hari pertama haid dan hari bersih dari darah haid. Pencatatan ini penting untuk mendeteksi secara dini gangguan pada organ reproduksi, salah satunya sindrom ovarium polikistik.

"Milikilah menstrual daily card dan simpan di tempat yang mudah diingat agar bisa diakses tiap saat," ujar Budi pada Seminar Nasional Pertama Sindrom Ovarium Polikistik di Jakarta, baru-baru ini.

Haid yang normal lazimnya berjarak sekitar 26 hingga 35 hari. Pola itu akan berlangsung rutin setiap bulan selama tidak ada pembuahan.

"Nah, dengan bantuan kartu catatan tanggal menstruasi, Anda bisa langsung mengetahui perubahan pola haid, misalnya, suatu ketika haid datang terlampau cepat atau lambat," tuturnya.

Sebagian perempuan yang datang dengan keluhan gangguan siklus menstruasi ternyata hidup dengan sindrom ovarium polikistik (SOPK). Sindrom itu merupakan wujud adanya masalah pada produksi endokrin kompleks yang ditandai dengan anovulasi dan hiperandrogen. Akibat gangguan pada produksi endokrin kompleks tadi, pematangan sel telur tidak terjadi.

"Karena sel telur tidak ada yang matang, haid pun tak datang," jelas Budi.

Gangguan menstruasi, tanda-tanda hiperandrogen, dan obesitas merupakan manifestasi klinis SOPK. Sindrom tersebut juga dikaitkan dengan meningkatnya risiko diabetes mellitus tipe 2 dan gangguan kardiovaskuler.

"Kumpulan gejalanya sangat heterogen. Mulai dari kelainan metabolik, gangguan haid, gangguan kesuburan, hingga pertumbuhan rambut yang berlebihan akibat berlebihnya produksi hormon khas lelaki," papar Budi.

Gangguan haid, lanjut Budi, bisa berbentuk amenorea dan oligomenorea. Seorang perempuan disebut amenorea jika ia tidak haid minimal tiga bulan. Sedangkan, oligomenorea menggambarkan perempuan tersebut memiliki jarak menstruasi lebih dari 35 hari.

Pada SOPK, buyarnya siklus haid biasanya datang dibarengi dengan adanya gejala gangguan hormon androgen atau resistensi insulin. Gangguan tersebut mudah terdeteksi dengan tumbuhnya rambut yang tidak lazim di bagian tubuh yang sensitif terhadap androgen, hormon khas lelaki. Kondisi ini dikenal sebagai hirsutisme.

"Misalnya, tumbuh rambut di dagu, atas bibir, leher, dada, punggung atas dan bawah, abdomen atas dan bawah, lengan atas, dan paha," ungkap Budi.

Selain hirsutisme, produksi hormon androgen yang berlebih pada wanita juga menstimulasi kelenjar sebasea. Akibatnya, saat terjadi sumbatan pada pori-pori dapat menyebabkan jerawat.

Mayoritas perempuan dengan sindrom ovarium polikistik memiliki masalah dengan obesitas dan resistensi insulin yang menyebabkan keadaan hiperandrogen di ovarium sehingga menghambat perkembangan folikel dan memicu terjadinya siklus anovulasi.

SOPK merupakan penyakit wanita usia reproduksi. Angka kejadiannya 5%-10% persen wanita usia reproduksi, yakni mereka yang berusia 15 hingga 40 tahun.
"Artinya, dalam satu juta populasi perempuan, 100 ribu di antaranya mengalami SOPK,'' jelas Budi.

Meski banyak yang mengalaminya, disayangkan sebagian besar kasus tidak ditangani dengan baik. Itu terjadi karena masyarakat awam belum mengetahui secara mendalam informasi seputar SOPK. Padahal, jika cepat disadari gejala sindrom ovarium polikistik, pengobatannya akan jauh lebih mudah.

Sebagian pasien SOPK pada awalnya merasa heran dengan kacaunya siklus haid. Namun, lebih banyak yang menunda memeriksakan kesehatannya. Mereka baru tergerak untuk mengunjungi dokter ketika sudah cukup lama hidup dengan gangguan tersebut.

"Misalnya, ketika ia mulai gusar tidak juga hamil setelah bertahun-tahun menikah,'' ungkap Budi yang juga manajer
operasional Klinik Yasmin, Pusat Endokrinologi Reproduksi dan Infertilitas, Jakarta.

Nyaris semua perempuan yang mengalami sindrom ovarium polikistik memiliki kerabat sedarah yang pernah didera masalah sejenis. Konon, faktor genetik memang berperan dalam hal ini. Oleh sebab itu, mereka harus ekstra siaga mencermati siklus haidnya.

"Bakat bisa muncul kalau dipicu oleh stres dan obesitas,'' cetus alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.

Untuk mengidentifikasi sindrom SOPK, pada tahap awal, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik dengan melihat indeks massa tubuh, tekanan darah, serta tanda-tanda hiperandrogen atau resistensi insulin.

''Sebagian besar wanita dengan SOPK mengalami masalah obesitas dengan nilai indeks massa tubuh lebih dari 25 atau lingkar pinggang lebih dari 88 cm. Lalu, tekanan darahnya lebih dari 140/90 mmHg,'' jelas Budi.

Tahap selanjutnya, dokter akan meminta pasien untuk melakukan tes darah yang bertujuan membuktikan hiperandrogen. Yang dicek, testosteron total atau free testosterone.

Berikutnya, dokter spesialis kebidanan dan kandungan bakal melakukan pemeriksaan dalam. Dari pemeriksaan ini, dokter akan meneropong ovarium pasien. Bila betul terkena SOPK, lewat USG akan terlihat sederet kista berbentuk mutiara yang menempel di ovarium.
"Karakteristik SOPK adalah adanya lebih dari 12 folikel berukuran 2-9 mm,'' ucap Budi.

Sejauh ini, sindrom ovarium polikistik belum bisa dicegah. Yang paling mungkin dilakukan sebatas deteksi dini. Terapi disesuaikan dengan keluhan yang dirasakan pasien.
Lantas, bagaimanakah cara penanganan sindrom ini? Budi menjelaskan, penatalaksanaan SOPK intinya bertujuan untuk menekan produksi hormon androgen dan meminimalisir gejala yang ditimbulkannya, yakni hirsutisme dan jerawat.

Terkait obesitas sebagai pemicu munculnya sindrom tersebut, Budi menyarankan agar perempuan menurunkan berat badannya paling tidak 5% dari berat badan awal. Dengan besaran penurunan berat badan tadi sudah cukup untuk menurunkan level insulin dan mendukung proses pematangan sel telur. (rei/ri)
(artikel : Republika, Foto: dok republika)

About the Author

Write admin description here..

0 komentar:

Copyright © 2013 Synergy Indonesia. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.